Memerdekakan Animator Lewat Open Source

9/27/10

Memerdekakan Animator Lewat Open Source





[PCplus]
Bagi kamu yang akrab dengan Blender, nama Hiza Ro mungkin tidak terdengar asing. Apa katanya tentang software ini dan perkembangan industri animasi di Indonesia? Simak hasil wawancara Pcplus dengan sang penggagas komunitas animator Blender Indonesia


Perjalanan menjadi seorang desainer dan animator tentunya diawali dengan proses belajar. Dan proses ini suadh pasati menuntut kerja keras dan sarana-prasarana yang memadai. Salah satunya adalah software desain dan animasi. Bicara soal software, faktor harga sering kali menjadi kendala bagi kebanyakan pemula. Tentu saja, yang dimaksud adlah software proprietary yang berlisensi, bukan software bajakan yang mudah ditemukan dengan mudah di lapak-lapak CD bajakan

Bagi mereka yang sudah menyadari pentingnya hak cipta dan kekayaan intelektual, menggunakan produk bajakan bisa mendatangkan rasa bersalah yang tidak nyaman. Jalan tengah kemudian dipilih, yaitu dengan memakai software open source umumnya berlisensi General Public License (GPL) yang mengizinkan siapa saja untuk menggunakannya, bahkan memodifikasi kode sumbernya jika dirasa perlu. Nah, opsi ini juga dipilih seorang Hizkia Subiyantoro (lebih dikenal sebagai Hiza RO), penggagas komunitas Blender Indonesia.

Hiza merasa sudah menemukan pilihan yang tepat dengan menggunakan Blender sebagai software animasi. Sebuah film pendek full-3D etngah digarapnya bersama ebberapa teman, siap untuk membuktukan bahwa softwware open source tak kalah “sakti” dibandingkan software animasi proprietary. Pcplus sempat menemuinya beberapa waktu yang lalu dan berbincang dengannya soal harapannya untuk dunia animasi tanah air serta keinginan terdalamnya untuk menjadikan para animator terbebas dari “dosa” membajak software.



PCplus: Lagi sibuk apa nih sekarang?
Hiza: Sekarang lagi sibuk workshop keliling kota. Kebetulan saya dan tim Blender Indonesia sedang membantu workshop di lima kot (Surabaya, Balikpapan, Medan, Jogja, Makassar). Lalu saya juga sedang mengerjakan Open Movie Blender Indonesia Pertama (Seruling Project), Menulis beberapa tutorial, membantu mengenrjakan proyek lain, dan mempersiapkan berdirinya Open Studio Society di Jogja.

Pcplus: Bagaimana awalnya kamu berkecimpung di dunia desain dan animasi?
Hiza: Sewaktu saya kuliah di desain grafis (1997-1998), lenjut ke seni grafis, lalu bekerja di berbagai bidang grafi seperti desainer kemasan produk dan desainer cover buku. Tapi saya merasa kurang puas. Saya tipikal orang yang enggak bisa diam, semua bidang dijajal, mulai dari musik, olah raga, desain, event organizer, video editing hingga pada akhirnya ke animasi. Sekarang lebih spesifik dan tertantang mengembangkan animasi berbasis open source di Indonesia. Menurut saya, animasi itu play and fun sehingga sukses membuat saya “diam” kerena asyuk mengutak-atik dan berpikir bagaimana menghibur dan menyenangkan orang lain.

Pcplus: apa saja kendala/tantangan dalam belajar desain dan animasi?
Hiza: Dulu, saat koneksi internet terbatas dan belum semurah yang sekarang, kendalanya mungkin lebih ke sumber buku dan informasi. Forum berbagi ilmu animasi juga masih sangat terbatas di Indonesia. Kalau dalam hal teknis sih banyak. Tapi tidak menjadi kendala berarti selama kita punya passion yang besar. Tantangan terbesar sekarang adalah membangun mental dengan tidak memakai software bajakan. Saya sering menyarankan agar mengambil jalan tengah dengan beralih ke software animasi open source, Blender salah satunya.

PCplus: Bagaimana awal mula kamu ketemu dan suka sama Blender? Apa sih yang bikin kamu sreg pakai blender?
Hiza: 4 tahun yang lalu. Dimulai dari mimpi ingin membuat film animasi panjang yang dikerjakan sendiri dan bisa masuk Guinnerss World Records. Tapi kemudian terbentur faktor legalitas yang memaksa saya harus menggunakan software animasi mahal, sekitar Rp. 30 juta untuk satu software. Lalu saya browsing deh di internet dan ketemu Blender. Blender itu free dan saya lihat review-nya bagus dan penegmbangnya aktif, coba-coba, dan … bingung! Hahaha.

Waktu itu saya sempat berhenti belajar Blender dan kembali ke software lama dan bajakan. Tapi lama-kelamaan merasa enggak dapat berkah dari bajakan. Sudah kerja keras, banyak menggarap project, tapi hasilnya enggak maksimal. Saya kemudian bepikir, mungkin karena ada yang salah dalam pelaksanaannya, dan dugaan terkuat adalah karena masih menggunakan software bajakan.

Saya baru 1,5 tahun terakhir ini mulai dari full di Blender hingga mendirikan komunitas Blender Indonesia setahun silam. (Hiza Ro sekarang sudah keluar dari PT. Serenity Mega Media dan memilih menjadi pekerja lepas dan aktif di komunitas-Red).

PCplus: Bagaimana kamu melihat perkembangan animasi di Indonesia?
Hiza: Sejauh ini lumayan. Di berbagai kesempatan, mulai terlihat taringnya. Cuma, seperti jamur di musim hujan, masih sporadif. Industrinya belum terbangun dan belum ada regenerasi seperti halnya musik dan film biasa. Banyak juga yang lari ke TV komersial dan game karena cukup bisa menghidupi animator. Untuk film panjang sendiri masih jauh dari harapan. Selain biayanya mahal, benefitnya masih kurang karena belum banyak diminati para produser lokal. Akhirnya ya sinetron lagi sinetron lagi. Hehehe

PCplus: menurut kamu, apa yang bisa ditonjolkan oleh animator tanah air agar bias bersaing dengan animator luar?
Hiza: Grafis dan texture, cerita juga. Indonesia surga untuk ide dan kreativitas. Banyak kok animator dan desainer Indonesia yang sudah melanglang buana di luar negeri, beberapa diantaranya malahan wanita. Ini hebat dan mesti dicontoh untuk bisa bersaing, tinggal tingkatkan disiplin dan rajin berproses, bikin animasi yang hebat dan kuat di cerita.

PCplus: apa obsesi kamu untuk software open source?
Hiza: Software hanya alat. Tak ubahnya sebuah pedang untuk senjata. Namun open source menurut saya punya nilai plus. Selain berfungsi sebagai pedang, saa ingin buktikan bahwa Free Open Source Software (FOSS) bisa membentuk mental yang positif dan membuat ekosistemnya sendiri. Maksudnya, saya mulai melihat bahwa pengguna open source umumnya dilandasi kesadaran untuk menghargai kekayaan intelektual dan semagat untuk be legal, ini adalah sikap mental yang positif. Bahkan kesadaran tersebut menjalar ke sisi kehidupan yang lain, seperti banyak pengguna open source yang berhenti merokok karena sadar rokok itu tidak baik dan merugikan orang lain selain diri sendiri.

Saya punya harapan yang besar dalam pengimplementasian FOSS. Salah satunya, mungkin bisa menghidupi artistnya sendiri, baru kemudian sebagai sarana belajar dan berkolaborasi. Selanjutnya, main banyak yang pakai, share, kolaborasi, dan akhirnya menggantungkan hidup secara legal dengan FOSS. Barulah akan makin banyak orang kreatif yang legal dan mengurangi pengangguran. Ke depan, nukan tidak mungkin FOSS bisa menghasilkan devisa negeara dari industri kreatifnya.

PCplus: apa harapanmu untuk dunia desain dan animasi di tanah air?
Hiza: Harapan saya, bisa berkembang subur dan menjadi mata pencaharian utama. Industri desain aimasi (kreatif) tidak pernah mati, malah makin berkembang. Di samping itu, mari mulai dari dini belajar menghargai Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan memakai FOSS atau membeli software asli. Niscaya, rezeki akan menghormatimu.

0 komentar :