ANIMASI, Tidak Seharusnya Menjadi Dilema (Bangsa)

10/3/13

ANIMASI, Tidak Seharusnya Menjadi Dilema (Bangsa)




Sejarah mencatat animasi modern bangsa ini dari sejak Dukut Hendronoto (1955), Huma (1980-an), dan generasi dibawahnya telah mengalami sebuah QUO VADIS selama puluhan tahun. Baru setelah generasi 90-an jaraknya semakin menyempit. Tahun 2000-an menjadi tahun yang produktif untuk mencatat perkembangan animasi Indonesia. Seiring dengan bermunculnya teknologi hardware dan software, media baru, pendidikan berbasis seni dan teknologi, dan perkembangan dunia internet.

Quo vadis adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah: "Ke mana engkau pergi?"
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Quo_vadis

Sampai tahun ini, animasi karya lokal yang disajikan dalam jaringan broadcast (TV) masih bisa dihitung dengan jari. Bukan karena kualitasnya saja, namun lebih kepada sistem yang membingungkan. Saya tidak akan membahasnya, karena sampai sekarang saya pribadi (bungung) masih senang mengekplore teknis bercerita dan style animasi. Belum tertarik untuk masuk ke sebuah industri besar. Masih asik dengan komunitas, bertemu dan belajar bersama banyak orang, dan sesekali membuat animasi. Saya punya cerita yang bisa dianalogikan dalam bentuk lain untuk perkembangan animasi Indonesia. Begini ceritanya.

Karir

Saya memulai karir dunia kreatif mulai sejak 1998 hingga 2009, dimulai dari menjadi seorang desainer kemasan, buku, layouter, 3D modeler, games, hingga memilih “pensiun” dini di usia 30th. Artinya sudah selama 11 tahun saya mengalami proses dari belum apa-apa menjadi semakin bingung dan “tersesat” di tenggah rimba industri. Maka di tahun 2009 saya memilih untuk bersenang-senang dan mendirikan komunitas. Dalam 4 tahun ini, hasil bersenang-senang tersebut menjadi berbagai cabang kesenangan lain yang membuat penasaran lain untuk lebih meningkatkan kesenangan. Bingung? Baiklah saya akhiri melanturnya. Langsung smasuk ke masalah salary. Nantinya ada hubungannya dengan bersenang-senang. Karena kesenangan butuh biaya juga.

Saya memulai karir sebagai desainer kemasan di sebuah perusahaan internasional di kota Kudus. Disinilah saya mendapat banyak ilmu dari mulai desain hingga cetak-mencetak, bahkan sampai kepada security printing. Sebelumnya saya adalah sebuah mahasiswa Desain Grafis berjenjang D-1, di sebuah LPK di Jogja. Gaji pertama saya selama 3 bulan adalah 250 rb, kalau sekarang senilai 2 jutaan. Bulan berikutnya saya dikontrak menjadi karyawan tetap dengan gaji sekitar 400 rb. Lebih dari cukup untuk bersenang-senang ala bujangan kala itu.

Setelah 2 tahun, saya memutuskan untuk meneruskan kuliah di ISI Yogyakarta, Fakultas Seni Rupa, Jurusan Seni Rupa Murni, minat utama Seni Grafis. Tadinya say akira ada hubungannya dengan Desain Grafis (DKV), namun ternyata tidak, belakangan saya bersyukur karena jurusan ini semakin menyenangkan untuk di eksplorasi. Untuk memenuhi kebutuhan, saya memanfaatkan surat pengalaman kerja (surat wasiat) guna melamar kerja menjadi freelancer di berbagai perusahaan swasta di Jogja. Mulai dari perusahaan kaos, penerbit kecil, percetakan besar, mengajar multimedia, hingga sebuah event organiser terkenal di Jogja. Disat sekolah desain grafis mulai menjadi favorit dan 'sexy', saya sudah melanglang buana dengan segudang pengalaman menjadi freelancer (kutu loncat) kreatif. Gaji saya rata-rata 600 rb s/d 3 juta. Sebuah nilai yang besar untuk kota dengan UMR terendah di Indonesia.

Setelah kira-kira 11 tahun lamanya hingga tahun 2009, saya bisa mengumpulkan salary 5 s/d 10 jt perbulan. Sangat cukup untuk seorang tanpa predikat sarjana. Saya beruntung mempunyai pengalaman ikut mendirikan sebuah perusahaan game developer dengan distribusi di 3 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia). Belakangan perusahaan yang ikut saya dirikan di Jakarta tersebut mengalami kebangkrutan secara teratur dan tutup garasi di  tahun 2010.

Pensiun Dini

Mimpi saya untuk pensiun dini di usia 30 tahun ternyata menjadi nyata. Walau dengan piutang 14 jt yang sampai sekarang belum dibayarkan, saya memulai semangat kebebasan baru. Menemukan sebuah kelahiran baru bersama komunitas yang saya bangun (blenderindonesia.org). Energi saya untuk bersenang-senang semakin tidak tebendung. Bersama istri yang saya nikahi tahun 2011, kami memulai traveling. Tanpa gaji tetap sejak 2011. Nekad!

Walau begitu saya percaya bahwa manusia hidup bukan hanya dari lembaran kertas berwarna saja. Mencoba meninggalkan logika, dan ternyata setelah 4 tahun berjalan, kenyataannya kami hidup berkecukupan tanpa pekerjaan dan gaji tetap. Sebuah pencapaian baru juga buat istri saya yang sudah merintis karir selama 7 tahun di Jakarta. Sejak 2011 cita-cita kami berubah, TRAVELING!.

Di Jogja kehidupan berjalan sangat menyenangkan. Rumah berhasil kami bangun dalam waktu singkat walau masih dengan bantuan keluarga (bapak saya pensiunan pegawai PT. KAI). Tidak ada masalah berarti selama menjalani kehidupan di Jogja, kami tinggal di sebuah desa terpencil, 4 km dari bibir pantai selatan Gunung Kidul.

Beberapa lokasi travel berhasil kami himpun satu demi-satu secara kolektif, Jawa-Bali-Sumatera. Mulai dari sepeda motor, bus, mobil, kereta, hingga pesawat sudah kami lakukan. Lalu apa tantangannya? Tantangannya cuma 1, KURS rupiah.

Dollar, Around The World

Saya berpikir ketika traveling ke Sumatera, dimana nilai KURS antar rupiah dari Jogja ke Medan sangat “tidak adil” menurut kami. Soal makanan misalnya, di Jogja kami TERBIASA dengan harga murah dan makanan berkualitas. Artinya dengan uang 10 rb kami bisa mendapatkan menu yang terbilang mewah. Di Medan kami harus menahan perut lebih lama untuk bisa menikmati kuliner dengan kualitas sama. Kesimpulannya untuk bisa traveling ke daerah diluar Jawa, kami tidak bisa mengandalkan KURS “ala Jogja”.

Sebelumnya saya mendapat pencerahan dari tamu-tamu (traveller) yang menginap di rumah. Sahabat kami dari Jerman , Belgia, Amerika, bercerita tentang banyak hal selama mereka travelling. Beruntung mata uang yang mereka pakai adalah US $, jadi untuk bepergian ke Asia Tenggara atau negara-negara berkembang bukanlah hal yang sulit. Ditambah lagi pengalaman saya membuat DVD Tutorial yang saya distribusikan ke seluruh Indonesia, ternyata diminati beberapa orang dari luar negeri. Saya bingung untuk menghargainya, karena memang tidak dipersiapkan untuk shipping internasional. Jadi dari mulai bahasa sampai kualitas saya pikir belum cukup. Salah seorang Taiwan menghargai DVD saya US$ 120! (harga resmi cuma 10 dollar). WOW :)

Pengalaman tersebut adalah sebuah pernyataan bahwa untuk bisa TRAVELLING dan MENIKMATI KESENANGAN ke seluruh dunia, maka tindakan MENYAMAKAN KURS adalah mutlak dilakukan! :)


Hubungan animasi dengan traveling dimana?

Tunggu dulu. Diawal saya sudah jelaskan bahwa cerita ini harus dianalogikan terlebih dulu untuk bisa dihubungkan dengan animasi. Yuk kita mulai.

Bagian dari Dunia

Manusia Indonesia adalah bagian dari manusia dunia. Bedanya hanya pada lokasi, warna kulit, budaya, dan bahasa. Selain itu sama saja. Tetap manuasia biasa.

Manusia modern justru membuat pengorganisasian (baca: pengkotakan) yang semakin lama semakin sempit. Perbedaan fisik, pola pikir, lokasi, dan SARA dijadikan pondasi untuk mebuat jarak. Barat dan timur diciptakan, negara di maju dan berkembang, juga miskin dipisahkan, dan lain sebaginya. Namun hakikatnya, tetap Manusia Biasa. Titik!

Dari analogi tersebut saya menyimpulkan bahwa sebaiknya tidak ada perbedaan dari segi pola pikir. Karena semua manusia biasa, hendaknya kolaborasi dan persaudaraan dibangun dengan baik. Tak kenal maka tak sayang, maka jika masih membedakan berarti tidak saling mengenal dengan baik. Dalam ranah ANIMASI pun begitu, kenapa masih dikotak-kotakkan lokal dan nasional? Nasional dan Internasional? Dalam negeri dan luar negeri? Toh pengikatnya sama, yaitu animasi.

Saya sebagai pelaku animasi tidak setuju dengan pengkotakan dan standarisasi yang pada akhirnya mengkerdilkan kratifitas dan inovasi. Dalam hal tertentu standarisasi diperlukan. Misalnya dalam urusan teknis (FPS) dan penyiaran (PAL & NTSC). Beberapa kaitan yang lain bolehlah standar. Namun untuk distribusi produk, saya pikir sudah saatnya kotak tersebut “dipecahkan”. Mungkin juga karena saya tidak berpikir secara bisnis murni, lebih kepada sociopreneur.

Jika kreatif itu out of the box, maka saya memilih tidak ada box!

Beda TV Nasional, Layar Lebar, dan Youtube?

Beberapa teman pernah saya tanyakan pendapat soal animasi yang tayang di TV nasional dan jaringan Internet (youtube). Kebanyakan masih mengincar distribusi melalui TV nasional, goalnya mengarah kesana. Tidak ada yang salah. Beberapa yang gagal dan belum bisa menembus menyatakan kekecewaan terhadap peranpemerintah dengan berbagai kebijakannya, dan media TV yang masih berpihak ke sinetron dan hiburan “nggak jelas” lainnya. Pikiran kreator memang berbeda dengan selera penonton dan produser yang hanya memikirkan bisnisnya saja. Apalagi jika disinggung/dibandingan dengan animasi negara sebelah. Energinya langsung panas dan 'dibuang' dalam berbagai percakapan sosial media atau forum.

Saya sendiri belum bermimpi ke arah TV. Selain masih bersenang-senang secara teknis, manajemen dan komunitas, bagi saya tidak (belum) ada bedanya tanyang di TV atau Youtube. Beda bayaran iya! Tetapi bukankah keuntungan bisnisnya bisa dicarikan diluar penjualan produk utamanya? Istilahnya efek samping dari produk utama (merchandise) dan acara-acara offline.

Adalah sebuah kebangaan (saya juga) jika film kita bisa diproduksi dengan format bioskop, layar lebar istilahnya. Apalagi menjadi "yang pertama", iya memang. Namun bukankan untuk menuju kesana masih panjang jalannya? Bagaimana dengan biaya, kualitas gambar, cerita, dll? Secara teknis gambar diam (still image) CG artist di Indonesia sudah bisa membuat kualitas HIGH. Begitu juga TVC (iklan) & film pendeknya, bagus kualitasnya. Namun untuk film-film panjang berdurasi diatas 30 menit, saya sendiri masih sangsi (termasuk mengukur diri sendiri).

Proses menuju kesempurnaan masih panjang jalan dan aral yang akan dilalui. Nah, sambil berusaha masuk ke jaringan TV dan Bioskop nasional & internasional, mari belajar dan meningkatkan kualitas cerita, gambar, manajemen, dan menciptakan ekosistem yang baik dan siap masuk ke ranah industri yang lebih besar. Karena karya yang bagus tidak ada gunanya tanpa pelaku dan ekosistem sehat, termasuk penonton.

KURS = LEVEL

Nah, semakin jelas hubungan antara animasi dan traveling, ada pada KURS atau bisa juga disebut LEVEL atau KUALITAS. Jika ingin maju dan go internasional, samakan dulu level/kurs dari animasinya.

Secara gamblang saya ingin bilang, daripada makan hati 'belum dihargai' di negara sendiri (nasional), maka lebih baik ikut meramaikan percaturan dunia animasi internasional. Lupakan negara, lupakan mental inlander, masyarakat internasional juga manusia biasa, maka berbagilah dan menjalin kerjasama dengan mereka. Kenal maka sayang. Bedanya hanya proses dan pola pikir mereka yang lebih dulu didepan, menyangkut animasi. Jika beruntung, samakan juga harga animasi dengan kurs dollar. Media internet sudah cukup menunjang untuk itu. Bidang musik, olah raga, desain, dan fine art sudah lebih dulu kearah sana, hendaknya kita belajar.

Dengan demikian kurs dollar bisa memberikan nafas baru untuk permodalan dan proses produksi. Beruntung biaya hidup disini tidak lebih mahal, sehingga dengan bekerja secara remote maka kita bisa mngeruk dollar lewat kreatifitas dan animasi kita. Dan hidup lebih layak tentunya :)

...bersambung


1 komentar :

Pandu Aji Wirawan said...

Setuju mas, terutama untuk masalah pendistribusian karya. Saya sempat berfikir tentang distribusi di televisi dan sekarang saya memilih untuk tidak mengejar tv, youtube sudah lebih dari cukup untuk media distribusi

Lebih menjanjikan kepuasan kreator karena lebih bebas dan lifetime :))